Wawancara spesial dengan Presiden Prabowo Subianto yang digelar bersama enam pimpinan redaksi dan jurnalis dari tujuh media lainnya pada hari Minggu (6/4) mengundang tanya-tanya tentang bagaimana pemerintahan dalam hal komunikasi politik terhadap keputusan-keputusan penting bagi masyarakat. Acara wawancara tersebut berlokasi di kediaman Prabowo di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mulai jam 09:30 hingga 13:00 waktu setempat. Dalam sesi ini, sebagai presiden Republik Indonesia urutan delapan, Prabowo lebih banyak merespons beberapa pertanyaan yang menyangkut perkara-perkara aktual saat ini saja.
Pemimpin redaksi diberikan kewenangan untuk memilih isu dan topik wawancara yang mereka inginkan. Selanjutnya, keenam pemimpin redaksi tersebut mengajukan pertanyaan terkait komunikasi pemerintahan, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, kebijakan tariff milik Trump, Rencana Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia, reformasi birokrasi, kasus korupsi, peluang kerja, serta Dananatara.
Felia Primaresti dari The Indonesian Institute (TII) mengomentari bahwa Wakil Presiden Prabowo belum memperluas partisipasi publik dalam proses komunikasi yang sedang berlangsung. Interaksi antara Presiden dengan jurnalistik pilihan tetap bersifat elitist, meskipun sesi tanya jawab itu merupakan kesempatan signifikan untuk menyebarkan pemikiran dan keputusan kepada masyarakat berdasar pada aspek inklusivitas, keterlibatan, serta ketelitian informasi.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga di Surabaya, Suko Widodo, mengatakan bahwa tindakan Prabowo menunjukkan sifat terbuka serta jujur dalam memberitahu masyarakat tentang berita atau informasi.
Metode dialogis sebagaimana diperlihatkan oleh Prabowo adalah cara komunikasi yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Hal itu dapat membantu merombak pandangan publik yang selama ini menyangka bahwa Prabowo kesulitan dalam berinteraksi secara langsung.
Meskipun ada beragam sudut pandang dan evaluasi tentang wawancara itu, Presiden Prabowo menunjukkan kesungguhan diri untuk menyuarakan pemecahan masalah-masalah politik kontemporer yang sering muncul di ranah media sosial Indonesia belakangan ini. Ini sekaligus mencerminkan keterlambatan pemerintah dalam memberikan respons kepada ketidaknyamanan publik atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan tiba-tiba tersebut.
Sebaliknya dari menyampaikan respons yang logis, pemerintah malah membiarkan pandangan publik tumbuh tanpa kendali atau menarik perhatian masyarakat dengan masalah-masalah yang terkesan dramatis.
Sayang sekali dalam wawancara itu tak ada pertanyaan yang mengeksplorasi pendapat Presiden Prabowo soal visinya untuk membangun sumber daya manusia Indonesia dengan fokus pada bidang pangan. Ini menjadi topik yang sangat vital dan bernilai strategis lantaran presiden kita telah merumuskannya sendiri seluruh tujuan-tujuan atau aspirasinya berkaitan dengan kebijakan pangan nasional di masa mendatang yang bertumpu pada potensi lokal maupun kemandirian produksi pangan.
Berikut informasi penting terkait hal ini: Sebelum meraih kemenangan di Pemilihan Presiden tahun 2024, Prabowo Subianto sudah mengarang dua buku yang mencakup pemikiran serta harapannya untuk masa mendatang Indonesia. Kumpulan pidato, wawancara, dan refleksi beliau tentang pengembangan negara tersaji dalam naskah-naskah itu sebagai bagian dari rute jalan menuju Asta Cita, yaitu delapan tujuan strategis program kerja rezimnya bersama Gibran. Satu aspek fundamental pada konsep Asta Cita yakni soal kedaulatan dan mandiri dalam urusan makanan.
Konsep Asta Cita
Visi misi pokok kepemimpinan Prabowo bertumpu pada Asta Cita yang mengutamakan pengembangan Indonesia jadi suatu negeri dengan kedaulatan penuh, kemandirian serta keadilan sosial. Terdapat delapan agenda strategis yang telah diprogram oleh pihak pemerintah guna mencapai tujuan tersebut yaitu membangun Indonesia lebih berkembang dan sejahtera. Selanjutnya, hal itu direalisasikan menjadi tugas-tugas spesifik bagi Presiden yang nantinya akan disusun ulang menjadi fokus-fokus nasional dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2025 sampai 2029 sebagaimana dicatat Bappenas pada tahun 2025.
Visi tersebut meliputi banyak bidang pengembangan, termasuk stabilnya sistem ekonomi, merataannya pertumbuhan bangsa, serta mandiriinya produksi makanan. Dari segi regulasi tentang bahan pangan, Asta Cita memiliki dampak signifikan pada perubahan aturan yang semakin menunjang otonomi pangan di tanah air, dengan tujuan untuk dapat mengatasi masalah krisis pangan yang sering kali menjadi ancaman bagi keseluruhan negeri.
Asta Cita bukan hanya sekadar visi jangka panjang, tetapi menjadi peta jalan yang jelas bagi Pemerintahan Prabowo dalam menanggulangi krisis pangan yang seringkali mengancam stabilitas produksi pangan nasional. Melalui kebijakan yang fokus pada kedaulatan pangan, pemerintahan Prabowo berupaya membangun ketahanan pangan yang tidak bergantung pada fluktuasi pasar global.
Kemandirian dalam produksi pangan menjadi tonggak penting dari Asta Cita yang lebih luas, yang mencakup kedaulatan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk pangan, energi, dan air. Dalam konteks ini, kebijakan pangan pemerintahan Prabowo adalah bagian integral dari upaya untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan adil, dengan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses terhadap pangan yang bergizi dan aman.
Asta Cita adalah pondasi baru bagi bangsa Indonesia melalui pembangunan kedaulatan pangan sebagai pilar pertama dari delapan pilar yang disusun.
Setiap pilar saling terintegrasi untuk membangun sistem pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan pembangunan nasional. Dengan demikian, Asta Cita adalah wujud agenda transformasi nasional yang memiliki pijakan kuat pada aspek kedaulatan, keadilan, dan keberlanjutan pembangunan.
Politik Pangan Nasional
Presiden Republik Indonesia ke delapan Prabowo Subianto pada buku berjudul Paradoks Indonesia dan Solusinya (2023) mencatatkan pernyataan yang menguatkan betapa pentingnya makanan bagi sebuah negara dengan menyebut bahwa “makanan merupakan persoalan kelangsungan hidup dari suatu bangsa. Kami dapat bertahan tanpa adanya gedung pencakar langit atau kendaraan bermotor. Akan tetapi kami tak akan sanggup untuk menjalani hari-hari tanpa ada sumber pangan seperti nasi, jagung, ubi kayu serta lain-lain.”
Konsep yang diajukan oleh Prabowo ini sungguh tepat dalam menekankan pentingnya masalah ketahanan pangan sebagai fondasi bagi stabilisasi dan otonomi suatu negeri. Menurut Prabowo, makanan tidak hanya merupakan produk ekonomi biasa; justru itu adalah aspek vital yang mendefinisikan kelangsungan hidup serta kemampuan mandiri dari sebuah bangsa di era perkembangan dunia saat ini. Makanan perlu diposisikan sebagai jenis barang yang memiliki nilai strategis demi kebaikan bangsa Indonesia selanjutnya. Oleh karena itu, siapapun pemimpin yang akan menjalankan rezim tersebut wajib menyadari betul bahwa urusan makanan ini amatlah penting. Kepala-kepala negara baik mereka berasal dari pihak pemerintah maupun partai yang sedang bertindak sebagai penggerak utama, patut membina bidang pertanian agar bisa tumbuh menjadi sumber penyedia makanan nasional pada generasi mendatang.
Prabowo menggarisbawahi bahwa mencapai kemajuan serta kesejahteraan di Indonesia bukanlah perkara sederhana tanpa adanya tujuan bersama yang kokoh. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah dan warga negara dengan tujuan yang sama. Pada era kepemimpinan Prabowo saat ini, tujuan bersama tersebut telah direduksi olehnya menjadi delapan butir Asta Cita. Asta Cita ini merupakan interpretasi atas visinya untuk sebuah Indonesia yang berkembang pesar dan sejahtera, ditetapkan guna merespon berbagai masalah signifikan seperti disparitas ekonomi, risiko kelaparan, keterkaitan energi, sampai pembangunan fasilitas sosial yang cukup.
Dalam pandangan Presiden kedelapan tersebut, pembangunan ketahanan pangan perlu dilaksanakan dengan cara menyeluruh mulai dari awal hingga akhir proses rantai pasokannya. Prabowo ingin sumber-sumber makanan yang ada di bagian awal rantai itu berasal dari sektor pertanian lokal dan dikendalikan oleh para petani asli Indonesia. Pemanfaatan hasil pertanian domestik ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani kita, mereka yang telah lama jadi fondasi utama produksi makanan negara.
Prabowo mengkritik kebijakan impor yang tidak hanya melemahkan daya saing petani lokal tetapi juga mematikan sektor pertanian secara perlahan. Jangan bergantung pada impor pangan, supaya bangsa Indonesia tidak tergantung pada siapa pun. Kalau sudah tergantung impor, begitu mata uang Indonesia melemah, akan sangat mahal untuk membeli barang impor. Kondisi ini bisa saja berdampak pada rakyat yang terancam tidak makan karena harga komoditas pangan sudah tidak terjangkau lagi.
Kritikan Prabowo tersebut berakar pada kenyataan pahit yang selama ini melingkupi bangsa Indonesia. Fakta pengelolaan pangan selama ini justru sangat memprihatinkan. Bangsa ini hidup di tengah kekayaan sumber alam, tetapi rakyatnya miskin. Negara dengan laut seluas tiga perempat wilayahnya malah mengimpor ikan dan garam. Singkong dan daging pun masih diimpor meskipun potensi produksi dalam negeri melimpah ruah.
Inilah paradoks Indonesia. Di satu sisi, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, termasuk tanah subur, laut yang luas, dan iklim tropis yang mendukung produksi pangan. Namun, di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, jagung, daging, ikan, dan bahkan garam. Paradoks ini, menurut Prabowo, mencerminkan kelemahan struktural dalam pengelolaan sumber daya dan visi pembangunan nasional. Alih-alih merasa khawatir, para pejabat dan sebagian kalangan masyarakat justru tertawa ketika mendengar kata impor.
Pernyataan Prabowo yang menyebut “kita mampu bertahan tanpa gedung pencakar langit, namun tak dapat menjalani hari tanpa beras” mencerminkan tekad sejati dalam memprioritaskan pengembangan pada keperluan dasar warga negara. Di sini, pangan lebih dari sekadar aspek pemenuhan kebutuhan; ia juga berkaitan dengan martabat serta kemerdekaan suatu negeri. Kebergantungan atas impor pangan membawa Indonesia kepada kerentanan terhadap ancaman luar seperti perubahan harga dunia atau pun ketegangan politik internasional.
Impor dan Kedaulatan Pangan
Prabowo menekankan betapa pentingnya mengakhiri ketergantungan terhadap impor bahan pangan agar bisa melindungi stabilitas ekonomi secara efektif. Jika Indonesia masih sangat bergantung pada produk luar negeri tersebut, maka kondisi nilai tukaran mata uang menjadi elemen utama yang berpengaruh langsung pada tingkat harga komoditas lokal. Apabila kurs rupiah merosot, tarif pengimporan pun naik dan hal itu niscaya bakal memberikan dampak negatif kepada penduduk karena membuat harga barang-barang pokok jadi lebih tinggi. Keadaan seperti ini tidak hanya akan menciptakan tekanan besar bagi kemampuan konsumsi kelompok kurang mampu tetapi juga membuka peluang timbulnya inflasi yang cukup signifikan sehingga mengancam keseluruhan sistem ekonomi di tanah air.
Ketergantungan terhadap impor makanan merupakan suatu kelemahan struktural yang perlu ditangani secara cepat. Ketahanan pangan sendiri dapat menjadi jawaban yang akan menghasilkan kestabilan harga serta membuka peluang pekerjaan dalam bidang pertanian, mendongkrak pendapatan para petani, dan memperkokoh ekonomi desa. Ini sesuai dengan pemikiran Prabowo yang menjadikan petani sebagai garda depan manajemen produksi beras nasional.
Kedaulatan pangan adalah prasyarat utama bagi keamanan nasional. Ketergantungan pada impor tidak hanya melemahkan posisi tawar Indonesia di panggung internasional, tetapi juga membuka peluang bagi negara lain untuk memanipulasi kebutuhan dasar bangsa ini. Sebagai contoh, embargo pangan yang dilakukan oleh negara pemasok dapat menjadi senjata ekonomi yang efektif untuk menekan kebijakan nasional.
Kemandirian Bangsa
Menurut sudut pandang Prabowo, kedaulatan pangan merupakan bentuk nyata dari kemerdekaan suatu negara. Bangsa yang mandiri secara pangan dapat mengendalikan seluruh aspek mulai dari pembuatan hingga penyebaran serta penggunaan produk pertanian, sehingga bisa menjamin perlindungan bagi warganya terhadap gangguan luar negeri. Ide ini sesuai dengan pemahaman Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan dan filosofi ekofeminisme asal India, yakin bahwa sumber makanan menjadi fondasi utama untuk mendapatkan kebebasan rakyat; tanpa adanya kedaulatan di bidang pangan, maka tidak akan ada hak otonomi baik itu politik maupun ekonomi yang benar-benar ada.
Prabowo sungguh-sungguh menjalankan aspek kelestarian pada manajemen kebijakan pangan. Dia mengetahui bahwa proses produksi pangan seharusnya tidak menciptakan kerusakan lingkungan, misalnya melalui pembukaan hutan luas atau pemakaian pestisida berlebihan. Justru dia mendukung metode yang memadukan teknologi ramah lingkungan serta praktek bertani sustainably. Masa depan revolusi hijau perlu menjadi suatu bentuk revolusi hijau yang juga peduli kepada keseimbangan ekosistem. Ini artinya otonomi pangan jangan sampai mengorbankan kelangsungan sumber daya alam.
Pemikiran Presiden Prabowo Subianto tentang pangan ini mencerminkan komitmen yang genuine untuk memperbaiki carut-marut pengelolaan pangan di Indonesia. Ia memahami bahwa kedaulatan pangan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar rakyat, tetapi juga soal menjaga stabilitas ekonomi, melindungi keamanan nasional, dan membangun bangsa yang mandiri. Dengan strategi yang holistik dan berbasis pada potensi lokal, visi Prabowo menempatkan pangan sebagai elemen strategis untuk mewujudkan Indonesia yang maju, makmur, dan berdaulat. Pemikiran ini, jika diimplementasikan dengan konsisten, dapat mengubah tantangan menjadi peluang, sekaligus membawa Indonesia ke arah yang lebih cerah dalam mencapai cita-cita sebagai negara berkedaulatan pangan pada 2045.
Komunikasi yang Lebih Luas
Jika Presiden Prabowo membuka peluang komunikasi publik yang kedua, kebaikan cakupan para pemangku kepentingan (stakeholder) diperluas jangkauannya untuk menjaring persoalan yang lebih beragam. Forum komunikasi dengan rakyat ini akan menjadi panggung bagi Presiden Prabowo menjawab kegelisahan masyarakat secara langsung tentang pengelolaan kebijakan publik yang amburadul. Khusus pangan, Presiden Prabowo pasti memiliki segudang jawaban yang rasional dan aktual tentang langkah-langkah strategis yang sudah mulai dilakukan pemerintah dalam rangka menuju swa sembada pangan.
Dalam konteks kedaulatan pangan, misalnya, Presiden Prabowo bisa menunjukkan bahwa pemerintah sedang memprioritaskan penguatan ketahanan pangan nasional melalui modernisasi pertanian, diversifikasi pangan lokal, dan pengurangan ketergantungan pada impor. Strategi ini mencerminkan esensi Asta Cita sebagai panduan praktis bagi pemerintah dalam menyelesaikan persoalan mendasar yang memengaruhi kesejahteraan rakyat.
Harapan saya pada kesempatan berkomunikasi yang lebih luas kali ini, Presiden Prabowo dapat memberikan penjelasan yang jauh lebih gamblang tentang masalah pangan. Dengan begitu, rakyat akan dapat membangkitkan kembali kepercayaannya kepada pemerintahan pasca mengalami tekanan akibat maraknya isu-isu yang kurang transparan selama ini.
Depok, 13 April 2025