30 Apr 2025, Wed

Parlemen ASEAN Kecewa: Pertemuan Antara Anwar Ibrahim dan Pemimpin Militer Myanmar Dicela

Parlemen ASEAN Kecewa: Pertemuan Antara Anwar Ibrahim dan Pemimpin Militer Myanmar Dicela



politics.apabisa.com


,


Jakarta


-Anggota Parlemen

ASEAN

Untuk APHR mengungkapkan keprihatinan terkait pertemuan yang direncanakan minggu ini antara Perdana Menteri Malaysia

Anwar Ibrahim

sebagai Ketua ASEAN dan pimpinan

junta Myanmar

Jenderal Min Aung Hlaing berada di Bangkok, Thailand.

APHR menyatakan bahwa pertemuan tersebut berpotensi memberikan legitimasi kepada rejim militer yang menjadi dalang dari tindakan kekerasan di Myanmar. Organisasi ini juga mengkritik bahwa pertemuan itu akan sangat merugikan usaha regional dalam mencapai kembali kedamaian, demokrasi, serta penghormatan terhadap aturan hukum di negara tersebut.

APHR mengharapkan agar Perdana Menteri Anwar Ibrahim menyatakan kembali janjinya tentang komitmennya pada demokrasi, hak asasi manusia, dan kedamaian di wilayah tersebut. Organisasi ini menentang setiap tindakan yang bisa berpotensi memberikan legitimasi tak sepatutnya kepada pemerintahan militer, mendorong pendekatan ASEAN yang lebih terbuka dan jujur dalam penanganannya, serta menjunjung harapan rakyat Myanmar akan sistem demokrati.

Anggota Dewan APHR dan juga anggota DPR dari Thailand, Rangsiman Rome, menyebutkan bahwa sejak kudeta tahun 2021, belum pernah ada ketua ASEAN berjumpa langsung dengan penguasa militer. Tindakan diplomatis tersebut, seperti penjelasan Rome, dilakukan secara sengaja sebagai bentuk pengingkaran terhadap legitimasi rejim militernya.

“Keputusan Perdana Menteri Anwar tersebut merusak preseden ini sehingga membahayakan integritas ASEAN serta mengurangi kesepakatan regional yang telah dirintis selama tiga tahun belakangan,” ungkap Rome pada pernyataan resmi APHR, Kamis, 16 April 2025.

Charles Santiago, wakil ketua dari APHR dan mantan anggota parlemen Malaysia, juga mengekspresikan keraguan serupa. Ia berpendapat bahwa diplomasi seharusnya tidak merugikan legitimasi rejim yang dianggap “kejam dan kriminal”.

“Pemimpin ASEAN di tahun 2025, Malaysia harus mengambil kendali dengan penuh percaya diri—mengadvokasi strategi yang didasarkan pada penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia serta fokus pada kesejahteraan masyarakat berdasarkan prinsip keadilan, tidak hanya penanggulangan masalah,” katanya.

Ketua APHR dan Anggota DPR Indonesia, Mercy Chriesty Barends, menganggap pertemuan antara Anwar dengan Min Aung Hlaing sebagai tanda bahaya karena tidak ada usulan untuk menyelesaikan masalah kekerasan atau mendamaikan demokrasi. Dia menyatakan bahwa situasi tersebut merugikan bukan saja masyarakat Myanmar tetapi juga wilayah di sekitarnya secara keseluruhan.

“Ini semakin menguatkan rejim militer yang sudah menggunakan bantuan humaniter sebagai senjata, meredam suara-suarademokrasi, serta melakukan tindak-tindakan kekerasan tanpa adanya hukuman,” katanya.

Terkait hal tersebut, anggota Dewan APHR serta anggota parlemen dari Timor-Leste, Angelina Sarmento, menyatakan bahwa hingga saat ini, bantuan kemanusiaan menuju Myanmar masih terbilang rumit. Dia menambahkan, distribusi bantuan harus bersifat netral, tidak mendukung salah satu pihak tertentu, dan semestinya disesuaikan dengan keperluan yang ada.

“Mendelegasikan bantuan lewat rezim yang hanya mengontrol segelintir area negeri serta dengan sengaja mencegah pertolongan masuk ke daerah di mana oposisi berkuasa justru tidak bakal memberi manfaat bagi mereka yang tengah kesusahan. Justru hal itu bisa memperburuk kesulitan mereka,” ungkap Sarmento.

Seperti halnya anggota APHR yang lain, Arlene Brosas, seorang anggota dewan dari APHR serta wakil di DPR Filipina, juga menggarisbawahi bahwa penduduk Myanmar secara tegas sudah menunjukkan penentangan mereka terhadap pemerintah militer.

“ASEAN harus berdiri bersama rakyat—bukan para pelaku tirani. Melegitimasi junta mengkhianati prinsip-prinsip inti ASEAN dan aspirasi jutaan orang yang terus menentang pemerintahan militer,” kata dia.

Sejak kudeta militer pada Februari 2021, Myanmar sudah terjebak dalam situasi krisis hak asasi manusia serta bencana kemanusiaan semakin memburuk. Pemerintah militer tersebut telah melancarkan tindakan pelanggaran hukum internasional berat seperti pembiaran kasus pembantaian besar-besaran, penghentian sementara orang secara acak, penyiksaaan, dan serangan udara yang mengarah langsung kepada masyarakat umum sebagai targetnya.

Menurut laporan APHR, lebih dari tiga juta individu telah menjadi pengungsian paksa. Sementara itu, pemerintahan militer tetap menentang Kesepakatan Lima Poin ASEAN serta enggan menerima pembicaraan atau pendekatan politik yang mencakup semua pihak sebagai jawaban atas masalah tersebut.

APHR menyetujui kepemimpinan Malaysia sebelumnya dalam mendukung respons ASEAN yang bertujuan.

Akan tetapi, partisipasi aktif dalam dewan pimpinan ini—terlebih lagi tanpa syarat-syarat tertentu, ketidakjelasan, atau keterlibatan pihak-pihak berkepentingan dari Myanmar yang sah—sudah melanggar prinsip kepemimpalan moral serta diplomasi negara tersebut.

APHR berpendapat bahwa situasi tersebut membawa ancaman dan bisa merusak kesatuan ASEAN yang telah terfragmentasi akibat krisis di Myanmar.

APHR menyatakan bahwa Min Aung Hlaing berniat bertemu dengan pemimpin-pemimpin ASEAN menggunakan alasan koordinasi bantuan kemanusiaan pasca guncangan gempa terbaru. Organisasi tersebut juga memberi peringatan supaya militer jangan mencoba mempergunakan isu-isu humaniter demi mendapat pengakuan diplomatis.

Selanjutnya, PHR menggarisbawahi bahwa dukungan humaniter yang dapat dipercaya dan berdampak harus diatur bersama-sama dengan seluruh pihak yang terlibat, seperti Pemerintah Persatuan Nasional, kelompok penentangan suku bangsa, serta komunitas non-tentara.

Bantuan itu tidak boleh dipakai untuk menguatkan kekuatan junta atau skema kosong mereka tentang pemilu yang dikendalikan militer, demikian bunyi pernyataan dari APHR.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *