Peredaran Rokok Ilegal Rugi Negara Rp97,8 Triliun: Ungkap Skandal ‘Tanpa Pita Cukai’
**politics.apabisa.com** – politics.apabisa.com | – Direktur Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani, merilis temuan hasil pemantauan atas perdagangan rokok ilegal yang menunjukkan bahwa rokok polos menjadi dominan dalam jenis-jenis rokok bebas pajak. Informasi tersebut dikemukakan Askolani ketika ia bersama-sama dengan kunjungan kerja Komisi XI DPR RI ke Kudus, Jawa Tengah pada hari Selasa, 15 April lalu.
Menurut data dari Kementerian Keuangan, pada tahun 2024 didapati bahwa pelanggaran yang berkaitan dengan rokok illegal mencakup: rokok tanpa cap pajak di atasnya menduduki urutan pertama dengan presentase 95,44%, diikuti oleh rokok palsu sebanyak 1,95%. Selanjutnya ada penggunaan tidak tepat atau saltuk senilai 1,13% serta produk bekas atau secondhand sekitar 0,51%. Sementara itu, kesalahan dalam penandaan atau salson berada di angka 0,37%. Kerugian potensial bagi negara diproyeksikan mencapai Rp 97,81 triliun.
Menghadapi masalah rokok ilegal yang semakin meluas, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menggarisbawahi kebutuhan untuk memberantas rokok tidak resmi di tanah air ini, karena hal tersebut bisa merusak pendapatan negara dari pajak cukai. “Ketersediaan rokok ilegal adalah sebuah ancaman besar yang mesti cepat ditangani oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan adanya perdagangan rokok tak sah itu pasti akan menciderai penghasilan nasional. Kami wajib melakukan analisis menyeluruh tentang faktor-faktornya,” papar Misbakhun.
Menurut Misbakhun, rokok illegal bermunculan akibat tarif cukai yang tinggi serta peraturan Harga Jual Eceran (HJE) yang memberikan tekanan pada beberapa jenis rokok, hal ini kemudian memicu aktivitas ilegal. Oleh karena itu, masalah rokok ilegal harus diperlakukan dengan serius dan tidak dapat disepelekan.
Karena banyak oknum yang tidak bertanggung jawab merusak sistem pengelompokan barang. Ada juga yang mendistribusi rokok biasa tanpa cap pajak sama sekali. Hal ini tak boleh terus berlanjut. Kami perlu mencari solusi dengan hati-hati. exit strategy ) yang tepat.
“Peningkatan tarif cukai serta peraturan HJE yang kental malah mendorong para pemain di sektor usaha kecil untuk melanggar hukum, termasuk menggunakan stiker cukai tiruan, mengategorikan barang dengan cara yang salah, sampai memproduksi rokok tanpa merek,” ungkap anggota Partai Golkar itu.
Dia menekankan bahwa situasi tersebut jangan sampai bertahan lama dan harus memperhatikan penyebab utamanya. Pajak merupakan fondasi pendapatan negara yang menyumbangkan lebih dari Rp 200 triliun setiap tahunnya.
“Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan serta kebijakan yang adil untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan sektor ini,” katanya.
Misbakhun juga menggarisbawahi betapa krusialnya adanya sinergi antara pihak-pihak terkait seperti pemerintahan, pengusaha di sektor tersebut, serta semua yang memiliki kepentingan untuk berkumpul dan merumuskan jawaban atas tantangan ini. Pelaku dari bisnis rokok ilegal mesti mendapatkan bimbingan sehingga dapat beroperasi dengan cara yang lebih patuh pada aturan, karena meskipun demikian mereka tetap memberikan lapangan pekerjaan dan memproduksi barang hasil tembakau.
“Bila tanpa didampingi oleh kebijakan yang adil, sektor usaha mikro mungkin semakin tertekan dan bisa jadi termasuk dalam daftar bisnis illegal. Hal ini tentunya bukan apa yang kami inginkan,” ujarnya.
Anggota Komisi XI, Muhidin Mohamad Said, juga mengekspresikan keprihatinannya tentang penghasilan industri rokok dalam negeri yang semakin merosot setiap tahunnya. Kemerosoton tersebut bukan saja mempengaruhi aspek produksi dan laba, melainkan juga membahayakan lingkungan pekerja yang bertumpu pada sektor tembakau.
Muhidin menegaskan kebutuhan untuk menjaga kesetimbangan antara upaya promosi kesehatan serta melindungi industri tembakau yang sah dan tunduk pada regulasi. Dia menyatakan, “Kementerian Kesehatan tetap gencar dalam mendongkrak kampanye anti-merokok. Namun demikian, bisnis rokok memiliki pengaruh finansial signifikan. Mulai dari para petani tembakau sampai tenaga kerja pabrikan, semuanya sangat bergantung kepada bidang ini. Oleh karena itu, kita tak dapat sekadar fokus pada segi kesehatannya saja,” katanya.
Politisi dari Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto, memberikan tanggapannya tentang penurunan dalam penjualan rokok. Komisi XI DPR berencana untuk menerima saran dari para pebisnis serta pemangku kepentingan lain yang memiliki komplain soal penurunan tersebut di pasar. Hal ini penting karena industri ini berkaitan secara langsung dengan pendapatan negara lewat pajak rokok.
Dia juga menggarisbawahi kebutuhan pengenaan sanksi pada distribusi rokok ilegal. Baginya, tindakan keras mutlak dibutuhkan agar dapat memelihara lingkungan bisnis yang kondusif serta adil.
“Akan ditetapkan kejelasan dalam penerapan penegakan hukum terhadap rokok illegal. Kami perlu mengevaluasi dampak dari adanya rokok ilegal tersebut pada tingkat konsumsi tembakau secara keseluruhan. Mungkin juga ada jenis barang serupa lainnya yang berpengaruh di pasaran. Segala hal ini akan kami teliti lebih lanjut,” ungkapnya dengan tegas.
Komisi XI DPR RI menginginkan bahwa lewat diskusi dan kerjasama bersama semua pemangku kepentingan, bisa dicapai langkah-langkah nyata guna mendorong pertumbuhan industri tembakau yang sah sambil juga menjaga pendapatan negara dari bidang perpajakan.
—