30 Apr 2025, Wed

Untuk Cinta dan Persatuan: Fakta di Balik “Genosida Politik” di Republik Indonesia

Di hadapan parlemen Turki pada minggu pertama bulan Syawal 1446 Hijriyah atau April 2025, Presiden Prabowo Subianto dengan gagah menyuarakan kritikan tajam terhadap pelanggaran serius Hak Asasi Manusia (dibaca: genosida politik) di Palestina. Bahkan lebih keras lagi, Presiden Prabowo menegaskan kesediaannya untuk melindungi mereka yang tertindas.


KIRA-KIRA

, Presiden Prabowo yang merupakan seorang perwira tinggi militer Indonesia yang amat signifikan pada zamannya tersebut menyatakan bahwa tidak akan ada pengampunan untuk tindakan penindasan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia serius terjadi di bulan Syawal.

Bagi pegiat HAM di Indonesia, mendengar amanat presiden seperti ini bisa remuk hatinya karena tahu Indonesia adalah negeri yang sebagian besar tak pernah bisa menyelesaikan persoalan HAM dan penindasan di negerinya sendiri. Menyentuhnya pun tidak. Sebuah negara yang angkatan perangnya dengan enteng bisa ”menyelesaikan” soal genosida politik lewat halalbihalal, lewat pemampangan baliho dan iklan layanan masyarakat ”Selamat Idul Fitri”.

Saya tunjukkan sebuah kesalahan kronologis yang ekstrim tentang hal tersebut di peta sejarah Indonesia, khususnya pada tahun Syawal 1385 Hijriyah.

Pada tanggal 23 Januari 1966, terdapat iklan perayaan pembukaan pada halaman pertama surat kabar Tentara Nasional Indonesia. Iklan ini disertai oleh sembilan paragraf pendahulunya yang bertajuk “Kota Menuju Lebaran dan Tahun Baru Imlek: Malam Doa Yang Bersemangat”.

Dua hari sebelumnya, 21 Januari, editorial koran resmi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini menulis kalimat seperti ini: ”Hari raja Idulfitri tahun ini djatuh bertepatan dengan selesainja pengganjangan phisik terhadap GESTAPU-PKI”.

Membaca kronik syawalan 1385 Hijriah ini, kita disuguhkan oleh ”suasana batin” bahwa genosida politik itu tak ada. Apa yang disebut aktivis Soe Hok Gie sebagai ”penyembelihan (manusia) besar-besaran” (baca genosida) tak lebih sekadar ”pengganjangan phisik”.

Dalam nama Tuhan, pasukan menyusun Syawal 1385 Hijriah dengan tepat sebagai hari keberhasilan usai menundukkan musuh revolusi yang dikenal sebagai kontroversial Gestok.

Natal, tahun baru, serta atmosfer Idul Fitri ini telah memberikan inspirasi bagi kami untuk menyebut nama Allah Yang Mahakuasa berkat pertolongannya dalam mengalahkan ‘Gestok’,” seperti yang disampaikan oleh Menteri/Panglima Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Mayjen Soeharto. Pesan tersebut kemudian dikenal sebagai ‘Amanat Lebaran’ di kalangan anggota tentara.

Istilah “tumpas” dan “pengganjengan fisika” tidak bisa disebut istilah umum apabila digunakan oleh tentara. Mereka membawa konotasi kuat terhadap tindakan kekerasan tanpa batas. Ketika kedua kata ini dicampurkan dengan terminologi agama seperti Natal, Idulfitri, atau Tahun Baru Imlek, makna aslinya—genosida yang sangat menyeramkan—seolah-berubah menjadi sesuatu yang lebih nasionalis serta kudus dalam pandangan mereka. Pelaku dari praktik tersebut bahkan cenderung tidak melihat apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan besar; malah sebaliknya, mereka percaya bahwa diri mereka sendiri memegang peran penting untuk menjaga peradaban manusia agar tetap baik.

Namun, ingatan kolektif masyarakat Indonesia terhadap peristiwa genosida pada Bulan Syawal tahun 1385 Hijriah sangat kabur. Ini bukan karena otak orang-orang di sana bermasalah sejak kelahiran mereka, melainkan pasukan bersenjata telah menciptakan kondisi sehingga hanya menyaring informasi tertentu saja. Informasi lainnya yang kontradiktif dengannya pun dipadamkan secara fisik; bahkan setelah beberapa dekade berlalu semenjak kejadian tersebut.

Itulah yang dialami dokumen ”Cornell Paper”. Harian Sinar Harapan edisi 4 Juni 1967 butuh satu halaman penuh di halaman satu melakukan asasinasi atas ”tafsir berbeda” dari apa yang disebut ”Gestok” itu dengan judul besar: ”Ben Anderson & Ruth Mc. Fey: Otak ’Cornell Paper’ Jang Misterieus, Pandangan The New Left Jang Kaburkan Opini Publik Luar Negeri”.

Baca paragraf awal laporan besar yang terbit pada hari Minggu ini: ”Cornell Paper atau laporan dari Universitas Cornell, AS, telah menghebohkan pendapat umum baik didalam maupun diluar negeri, dan sedikit-banjaknja telah membawa tafsiran jang keliru pada opini publik dunia luar mengenai sebab-musabab penyjetusan G30S/PKI atau terkenal dgn peristiwa Gestapu itu.”

Berikutnya, portofolio dari kedua akademisi penulis laporan tersebut dikatakan oleh Sinar Harapan sebagaimana berikut: “Dua sarjana Amerika Serikat, Dr. Ben Anderson dan Dr. Ruth Mc. Vey adalah aktor-aktor misterius… (‘Cornell Paper’) dikenal juga sebagai sebuah tulisan asing yang diyakini menyimpan nuansa mendukung kudetanya namun upaya kudetanya tidak berhasil.”

Samarnya Genosida

Berdasarkan laporan yang disederhanakan tersebut, sulit dipercaya oleh masyarakat bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang sedang mengalami masalah. Hal ini karena pasukan bersenjata beserta militernya diduga telah melancarkan tindakan pembunuhan massal secara sistematis; skala kekerasan tersebut diperkirakan sama seperti dampak Perang Vietnam, sesuai dengan apa yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer dalam buku “Nyanyi Sunyo Seorang Bisu”.

Situasi psikologis “percayalah-tidak percayalah” ini menjerat emosi para pembacanya ketika mereka menyusuri setiap halaman dari karya John Roosa yang berjudul Sejarah Yang Tersimpan: Kekejaman Anti-Komunis pada tahun 1965-1966 di Indonesia. Ini membuat pikiran tidak tenang dan merasakan keragu-raguan; apakah benar telah terjadi pembiaran massa secara terbuka? Bahkan, orang-orang biasa yang harinya dibesar-besarkan sebagai musuh publik ditakut-takuti hingga diperlakukan kejam selama bulan Ramadhan dan Natal pada tahun tersebut tanpa alasan yang bisa dimengerti oleh siapa pun meskipun dia adalah seseorang yang bodoh sekali.

Melihat bagaimana koran Angkatan Bersendjata menyambut Lebaran dengan sukacita pada 23 Januari 1996, terutama syawalan ”jang penuh gairah”, diksi genosida yang sangat buas dan menakutkan yang dielaborasi dengan dingin oleh Roosa itu seperti sesuatu yang sangat jauh dan sangat samar. Indonesia tampak seperti negeri Saba dalam gambaran Tuhan: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Buka Puasa Politik

Tahun 1998, 1 Syawal jatuh pada 29 Januari. Sepekan sebelum itu, markas komando pasukan elite Angkatan Darat Kopassus di Cijantung dengan bangga melepas undangan buka puasa kepada lebih kurang 7.000 orang.

Majalah bulanan Media Dakwah edisi nomor 284, Syawal 1418 Hijriyah – Februari 1998, menjadikan suasana buka puasa di Cijantung sebagai berita utama pada halaman depannya. Gambar tersebut menunjukkan Prabowo sedang bermalam salam sambil tersenyum kepada sejumlah “figuran” yang menggunakan pakaian tradisional Arab dan membawa penutup kepala.

Dalam tulisan Media Dakwah yang saya sampaikan tanpa perubahan kata demi kata seperti aslinya tertulis: “Keadaan pada malam hari Ramadhan tanggal 24 ini di Markas Besar KopassUS, Cijantung, Jakarta Timur (23/1), sepertinya belum pernah terjadi sebelumnya. Pada kantor utama dari pasukan pilihan tersebut, diperkirakan ada kurang lebih tujuh ribu orang Muslim serta anggota KopASSUS yang melaksanakan pembukaan puasa bersama-sama, disusul dengan salat Maghrib, Salat Isya, dan Shalat Tarawih secara berjemaah.”

Sebagai pemilik rumah, Prabowo Subianto yang bertugas sebagai Danjen Kopassus dengan pangkat Mayor Jenderal menyampaikan pidato sambil menggarisbawahi kepentingan keterpaduan antara rakyat dan ABRI serta bersedia mendengarkan keluhan dari para ulama. Dia menjelaskan, “Saya telah memerintahkan satuan saya agar selalu terbuka setiap saat, yaitu 24 jam per hari, tujuh hari dalam satu minggu, dan tiga puluh satu hari tiap bulannya, untuk menerima kunjungan Bapak sekalian.”

Hingga titik ini, atmosfer kerelaan dan kesatuan antara masyarakat dan ABRI dalam semangat Ramadan-Syawal sungguh mengharukan. Kemudian, Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang diketuai oleh Jenderal TNI Subagyo HS bersama para perwira berpangkat tinggi lainnya, melakukan pengecekan di Cijantung pada tanggal 5 Agustus 1998. Hal tersebut disebabkan karena sekitar 500 meter jarak dari markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tempat dilangsungkannya acara buka puasa bersama dengan peserta yang mencolok di minggu akhir bulan Ramadhan tahun Hijriyah 1418, ada sebuah ruangan bawah tanah bekas digunakan untuk menyiksakan orang-orang yang telah diculik. Ruangan tersebut dinamakan “kapal selam”. Berbagai korban penculikan yang masih hilang hingga saat ini pun sempat ditahan di lokasi itu.

Namun, seperti 1965, memori kekerasan negara di tahun 1998 ini juga perlahan samar dan jauh. Sangat tidak masuk akal seorang pimpinan pasukan elite militer yang dicintai ”umat Islam” melakukan perbuatan bertentangan dengan saptamarga. Kalaupun iya, pastilah itu dilakukan demi melindungi kepentingan luas dari umat Islam itu sendiri. Opini publik tetap gamang, hatta internal Angkatan Darat sendiri berhasil membuktikan operasi penculikan tersebut benar adanya dan Prabowo dipecat.

Ketua satuan elit Kostrad yang pertama, Mayor Jenderal Soeharto, di tahun 1965; dan Ketua satuan elit Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto. Mereka memiliki nasib serupa meskipun ada perbedaan rincian, keduanya menjabat sebagai pucuk kepemimpinannya dalam eksekutif dengan reputasi “bersih” terkait kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebelumnya. Dengan sedikit kata pembuka saja, seluruh naskah-naskah revisi politik dapat dimodifikasi semaunya.

Harian Angkatan Bersendjata edisi 23 Januari 1966 menyampaikan: “Minal Aidin Walla Faidzin. Para pemimpin dan staf seluruh jurnalis serta karyawan Mingguan Angkatan Bersenjata berkesempatan untuk mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 1 Sjavol tahun Hijriyah 1385. Kami memohon ampun lahir dan bathin kepada semua rekan kerja, mitra pengiklan, dan para pembaca.” (*)


*) MUHIDIN M. DAHLAN

, Dokumenter partikelir dari Warung Arsip dan juga sang pengarang buku Kronik Penculikan Aktivis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *